Oleh: Dr.H Shobahussurur, M.A
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk fi
sabilillah (jalan Allah), dan orang-orang yang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah: dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (Q.S al-Taubah/9:60)
Dalam memahami makna
fi sabilillah (dijalan Allah) pada surat al-Taubah/9:60 diatas, pendapat para
ulama setidaknya terbagi dua. Ada yang cenderung mudhayyiqin (menyempitkan
makna) dan ada yang cenderung muwassain
(meluaskan makna). Bagi ulama mudhayyiqin makna fi sabilillah terbatas pada apa
yang dilakukan pada masa Rosulullah SAW
dan para sahabat, dimana zakat untuk sabilillah hanya digunakan untuk
pembiayaan perang pisik, sedangkan bagi ulama muwassain, makna fi sabilillah,
makna fi sabilillah diperluas, termasuk untuk pembiayaan aktivitas dakwah dan
kepentingan umum umat islam.
Dalam Al-Quran dan terjemahnya, sabillillah (jalan Allah),
yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Diantara ahli tafsir
ada yang berpendapat bahwa fi sabilillah itu mencakup juga
kepentingan-kepentingan umum sepeti mendirikan sekolah, rumah sakit dan
lain-lain. (Al-Quran dan Terjemahnya, 1418 H, h.289).
Buya Hamka dalam menafisiri makna fi sabilillah atas
cenderung memberikan penafsiran yang luas. Beliau juga menjelaskan bahwa memang
para ulama klasik banyak yang berpandangan bahwa yang dimaksud fi sabilillah dalam ayat ini ditunjukan pada
perbelanjaan perang, maka fi sabilillah lebih dikanai pada perjuangan dalam
bentuk perang klasik.
Namun Buya Hamka memahami
fi sabiliilah dengan pandangan yang sangant luas. Beliau mengutip
pendapat ulama klasik seperti Iman Malik yang berkata: “Jalan-jalan Allah itu banyak, namun aku tidak melihat
adanya perselisihan pendapat bahwa yang dimaksud dengan fi sabilillah di ayat
ini adalah perang menegakkan agama”. Bahkan Imama Ahmad mengatakan bahwa fi
sabilillah termasuk juga pergi haji.
Kewajiban naik haji hanya terjadi ketika seseorang telah
sanggup melaksanakannya (istitha’ah, ada kemampuan). Oleh karenanya dia sendiri
harus berusaha supaya mampu berangkat haji dengan biayanya sediri. Tetapi orang
lain yang beriman, kata Buya Hamka, sepatutnya memberi bantuan kepadanya dengan
zakat, baik oleh karena memang dengan mengerjakan haji itu dia telah melakukan
fi sabilillah, ataupun karena naik haji itu dia telah terhitung ibnu sabil.
Buya berpendapat bahwa fi sabilillah mestinya dipahami dalam
arti seluas-luasnya. Oleh karena itu tidak boleh dibatasi pemaknaannya dengan
satu makna saja. Oleh karena itu, termasuk dalam kategori fi sabilillah, segala
macam usaha yang baik, termasuk membari kafan jenazah orang miskin, membuat
jembatan penghubung dua pinggir sungai, membangun benteng, mendirikan masjid
dan lain-lain. Bahkan Buya setuju dengan pendapat bahwa termasuk dalam fi
sabilillah, ulama yang telah mengorbankan seluruh waktunya untuk memperdalam
pengetahuan agama dan mengajarkannya kepada masyarakat luas. Mereka mustahiq
(berhak) mendapat bagian zakat dari fi sabilillah; biarpun dia kaya, apalagi
kalau dia miskin. Mau menerima atau tidak teserah kepada ulama itu, tetapi dia
berhak menerima.
Dalam pendapat Imam Al-Ghazali, para ulama yang berhak
menerima zakat dari pada mengharapkan pemberian dari sultan. Karena harta yang
dari sultan itu sudah bercampur aduk
antra yang halal dan yang haram. Disamping karana dengan menerima pemberian
sultan akan mengurangi kemerdekaan ulama tersebut dalam menyampaikan kebenaran.
(Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz 10, 1984: 255-256).
Pendapat Buya Hamka tesebut sejalan dengan pendapat para
ulama kotemporer yang memberikan makna luas terhadap arti fi sabilillah. Dr.
Yusuf Qardhawi, dalam Fiqih Zakat, umpamanya, memahami fi sabilillah dalam ayat
diatas termasuk diantaranya adalah:
1.
Pembangunan Al-Markaz al-Islami (pusat dakwan
islam) untuk kepentingan dakwah Islam di wilayah minoritas, dan menyampaikan dakwah
islam keberbagai benua.
2.
Pembangunan Al-Markaz al-Islami (pusat dakwah
islam) dinegeri Islam sendiri guna membimbing generasi muda Islam kepada ajaran
Islam yang benar serta melindungi mereka dari pengaruh ateisme, keracunan
fikiran, dekadensi moral serta menyiapkan mereka untuk menjadi pembela Islam
dan melawan para musuh Islam.
3.
Penerbit tulisan-tulisan tentang Islam, guna
mengantisipasi tulisan yang menyerang Islam, atau menyebarkan tulisan yang bisa
menjawab kebohongan para penipu dan keraguan yang disuntikan musuh Islam, serta
mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya.
4.
Bantuan untuk para da’i yang berjuang menggapai
para musuh Islam.
5.
Pembiayaan lembaga pendidikan Islam yang akan
melahirkan para pejuang Islam yang baik atau pembiayaan pendidikan kader dakwah
yang akan berjuang dijalan Allah.
Dengan demikian, segala aktivitas dalam rangka menegakan
agama Allah, memajukan, membela dan membebaskannya dari musuh Allah, memajukan,
membela dan membebaskannya dari musuh-musuh Allah, baik itu berupa perjuangan
perang fisik ataupun non-fisik dalam rangka lii’lai kalimatillah (menegakan
agama Allah) adalah bagian jihad fi sabilillah. Oleh karenanya pembiayaannya
dapat diambilkan dari danna zakat. Hanya saja, sebelum membagi dana zakat,
perlu ada sekala prioritas dalam membaginya kepada para mustahiq yang delapan
golongan itu (al-ashnaf al-tsamaniyah). Perlu dibuat kajian yang mendalam untuk
menetukan bagian masing-masing golongan itu supaya dana zakat itu tepat
sasaran.
Wallahu A’lam
Wallahu A’lam