Rabu, 24 April 2013

RAGAM CARA MENDAPATKAN FI SABILILLAH


Oleh: Dr.H Shobahussurur, M.A
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk fi sabilillah (jalan Allah), dan orang-orang yang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah: dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S al-Taubah/9:60)
Dalam memahami  makna fi sabilillah (dijalan Allah) pada surat al-Taubah/9:60 diatas, pendapat para ulama setidaknya terbagi dua. Ada yang cenderung mudhayyiqin (menyempitkan makna) dan ada yang  cenderung muwassain (meluaskan makna). Bagi ulama mudhayyiqin makna fi sabilillah terbatas pada apa  yang dilakukan pada masa Rosulullah SAW dan para sahabat, dimana zakat untuk sabilillah hanya digunakan untuk pembiayaan perang pisik, sedangkan bagi ulama muwassain, makna fi sabilillah, makna fi sabilillah diperluas, termasuk untuk pembiayaan aktivitas dakwah dan kepentingan umum umat islam.
Dalam Al-Quran dan terjemahnya, sabillillah (jalan Allah), yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Diantara ahli tafsir ada yang berpendapat bahwa fi sabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum sepeti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. (Al-Quran dan Terjemahnya, 1418 H, h.289).
Buya Hamka dalam menafisiri makna fi sabilillah atas cenderung memberikan penafsiran yang luas. Beliau juga menjelaskan bahwa memang para ulama klasik banyak yang berpandangan bahwa yang dimaksud  fi sabilillah dalam ayat ini ditunjukan pada perbelanjaan perang, maka fi sabilillah lebih dikanai pada perjuangan dalam bentuk perang klasik.
Namun Buya Hamka memahami  fi sabiliilah dengan pandangan yang sangant luas. Beliau mengutip pendapat ulama klasik seperti Iman Malik yang berkata: “Jalan-jalan  Allah itu banyak, namun aku tidak melihat adanya perselisihan pendapat bahwa yang dimaksud dengan fi sabilillah di ayat ini adalah perang menegakkan agama”. Bahkan Imama Ahmad mengatakan bahwa fi sabilillah termasuk juga pergi haji.
Kewajiban naik haji hanya terjadi ketika seseorang telah sanggup melaksanakannya (istitha’ah, ada kemampuan). Oleh karenanya dia sendiri harus berusaha supaya mampu berangkat haji dengan biayanya sediri. Tetapi orang lain yang beriman, kata Buya Hamka, sepatutnya memberi bantuan kepadanya dengan zakat, baik oleh karena memang dengan mengerjakan haji itu dia telah melakukan fi sabilillah, ataupun karena naik haji itu dia telah terhitung ibnu sabil.
Buya berpendapat bahwa fi sabilillah mestinya dipahami dalam arti seluas-luasnya. Oleh karena itu tidak boleh dibatasi pemaknaannya dengan satu makna saja. Oleh karena itu, termasuk dalam kategori fi sabilillah, segala macam usaha yang baik, termasuk membari kafan jenazah orang miskin, membuat jembatan penghubung dua pinggir sungai, membangun benteng, mendirikan masjid dan lain-lain. Bahkan Buya setuju dengan pendapat bahwa termasuk dalam fi sabilillah, ulama yang telah mengorbankan seluruh waktunya untuk memperdalam pengetahuan agama dan mengajarkannya kepada masyarakat luas. Mereka mustahiq (berhak) mendapat bagian zakat dari fi sabilillah; biarpun dia kaya, apalagi kalau dia miskin. Mau menerima atau tidak teserah kepada ulama itu, tetapi dia berhak menerima.
Dalam pendapat Imam Al-Ghazali, para ulama yang berhak menerima zakat dari pada mengharapkan pemberian dari sultan. Karena harta yang dari sultan itu sudah bercampur  aduk antra yang halal dan yang haram. Disamping karana dengan menerima pemberian sultan akan mengurangi kemerdekaan ulama tersebut dalam menyampaikan kebenaran. (Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz 10, 1984: 255-256).
Pendapat Buya Hamka tesebut sejalan dengan pendapat para ulama kotemporer yang memberikan makna luas terhadap arti fi sabilillah. Dr. Yusuf Qardhawi, dalam Fiqih Zakat, umpamanya, memahami fi sabilillah dalam ayat diatas termasuk diantaranya adalah:
1.       Pembangunan Al-Markaz al-Islami (pusat dakwan islam) untuk kepentingan dakwah Islam di wilayah minoritas, dan menyampaikan dakwah islam keberbagai benua.
2.       Pembangunan Al-Markaz al-Islami (pusat dakwah islam) dinegeri Islam sendiri guna membimbing generasi muda Islam kepada ajaran Islam yang benar serta melindungi mereka dari pengaruh ateisme, keracunan fikiran, dekadensi moral serta menyiapkan mereka untuk menjadi pembela Islam dan melawan para musuh Islam.
3.       Penerbit tulisan-tulisan tentang Islam, guna mengantisipasi tulisan yang menyerang Islam, atau menyebarkan tulisan yang bisa menjawab kebohongan para penipu dan keraguan yang disuntikan musuh Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya.
4.       Bantuan untuk para da’i yang berjuang menggapai para musuh Islam.
5.       Pembiayaan lembaga pendidikan Islam yang akan melahirkan para pejuang Islam yang baik atau pembiayaan pendidikan kader dakwah yang akan berjuang dijalan Allah.
Dengan demikian, segala aktivitas dalam rangka menegakan agama Allah, memajukan, membela dan membebaskannya dari musuh Allah, memajukan, membela dan membebaskannya dari musuh-musuh Allah, baik itu berupa perjuangan perang fisik ataupun non-fisik dalam rangka lii’lai kalimatillah (menegakan agama Allah) adalah bagian jihad fi sabilillah. Oleh karenanya pembiayaannya dapat diambilkan dari danna zakat. Hanya saja, sebelum membagi dana zakat, perlu ada sekala prioritas dalam membaginya kepada para mustahiq yang delapan golongan itu (al-ashnaf al-tsamaniyah). Perlu dibuat kajian yang mendalam untuk menetukan bagian masing-masing golongan itu supaya dana zakat itu tepat sasaran.  
Wallahu A’lam

1 komentar:

  1. Alhamdulillah,terimakasih atas penjelasannya
    bermanfaat sekali,
    Jazakallohu khoeron katsiro

    BalasHapus